Cinta Setelah Hujan
(Karya: Mufida
Saediman)
“Daebak!1 EXO mau konser di Indonesia!!!
Aku harus pergi! Wajib! Mulai dari sekarang aku harus menabung!” tekadku dalam
hati.
“Minggu depan giliran
kelas kita yang jadi petugas
upacara, lho.” Tukas teman
sebangkuku, Nirwana. Teman-temanku yang lain ikut mendekat. “Kata Pak Jalal,
kita pilih sendiri mau bertugas jadi apa. Nanti Pak Jalal yang seleksi. Aku
sudah enggak sabar dari minggu lalu. Dari dulu, aku ingin jadi protokol upacara!”
“Aku mau jadi pembaca
janji siswa saja, gampang! Hahaha!”
“Aku sudah pasti
pengibar bendera, karena hanya aku anak Paskibra di kelas.”
Pembicaraan teman-temanku tidak menarik. Aku membuka sebuah
foto di galeri ponselku. Foto salah satu anggota boyband ternama di Korea.
“Kalau kamu, Al? Mau bertugas jadi apa minggu depan?”
pertanyaan Nirwana membuyarkan
lamunanku. Aku terkekeh dan menggaruk kepala. “Enggak mau jadi apa-apa. Aku
enggak tertarik ikut begituan.”
“Kamu lagi lihat boyband Korea,
kan? Korea teruuuuus! Gara-gara mereka kamu selalu telat informasi. Kamu lebih
pilih menabung untuk beli album musik daripada beli tiket pertunjukan tari
Baliore tahun lalu! Padahal, aku yang tampil….”
“Kamu juga enggak ikutan Festival Palu Nomoni karena enggak mau uangmu
habis untuk jajan makanan lokal! Pasti mau beli barang-barang enggak berguna lagi!”
Aku menatap mereka penuh amarah. “Buat apa juga aku nonton pertunjukan
tarianmu? Baliore? Enggak
gaul sama sekali! Lagian, aku
beli barang-barang yang
1 Daebak (bahasa Korea)
= Hebat! Wow! Luar biasa!
berguna, kok! Buat apa juga aku jajan makanan lokal
yang enggak enak!”
Aku kembali menatap layar
ponselku dan mengecup foto yang terpampang.
“Keluar semuanya!” Pak Jalal berteriak sambil melayangkan
rotannya ke seluruh penjuru kelas. Aku sempat malu karena Pak Jalal memergoki
diriku sedang mencium layar ponsel.
Dengan langkah terpaksa, aku melangkah ke lapangan upacara
yang sudah ramai. Berbaris di belakang dengan
asal-asalan. Aku tidak
pernah sekalipun merasakan kekhidmatan dari upacara setiap hari senin. Saat Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 sedang dibacakan, aku hanya melamun. Lalu, saat
Indonesia Raya dinyanyikan, aku sibuk mendengarkan lagu Korea. Aku bahkan tidak
tahan menundukkan kepala saat hening cipta. Aku malah mendongak, mencari
keberadaan guru agar bisa kabur dan bersembunyi di dalam kelas.
Demi membunuh rasa bosanku, aku pun memainkan ponsel sembari mendengar lagu-lagu Korea kesukaanku.
Sesekali aku bersenandung dan menggoyangkan kaki, membayangkan diriku ikut
menari bersama artis Korea pujaanku.
Tes. Tes. Tes. Tetesan hujan turun, mengagetkan diriku. Aku bersorak dalam hati.
Upacara pasti bubar kalau hujannya menjadi lebih deras! Hore! Aku pun melihat ke sekeliling, mengecek apakah teman-temanku
juga sama girangnya denganku. Tapi…,
dimana orang-orang?!
Lapangan upacara yang sedetik lalu ramai oleh murid, kini
sepi. Tidak ada upacara, guru dan teman-temanku! Kini, hanya ada lapangan luas
yang sepi dan basah oleh air hujan.
Tiba-tiba saja, tanah bergetar. Rasanya seperti gempa. Terdengar suara
hentakkan kaki ribuan orang. Aku menyipitkan mata. Derasnya air hujan sedikit
menghalangi pandanganku. Aku bisa melihat banyak orang –mungkin ratusan bahkan
ribuan– sedang berlari ke arahku. Mereka semua kelihatan marah dan berteriak-teriak. Masing-masing orang
memiliki senjata yang beragam. Bukan hanya senapan, mereka juga menggenggam
bambu runcing dan kayu panjang.
Tak peduli basah dan lumpur, mereka melangkah maju. Aku
ketakutan. Apa lagi ini!? Apa aku akan diserang? Aku segera berlari
menjauh, namun sialnya,
aku juga mendapati pasukan
lain yang lebih banyak, lengkap
dengan senapan, rompi anti peluru, tombak dan perisai pelindung.
Pasukan elit yang akan melawan pasukan sederhana yang jumlahnya kalah banyak.
“Merdeka! Merdeka!” teriakan
pasukan sederhana semakin membara. Aku tidak
tahu ini peperangan apa, tapi, aku bisa tahu bahwa pasukan
sederhana di depanku ini adalah Indonesia. Sedangkan
pasukan lainnya sudah pasti para penjajah.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin berlari, tapi, kakiku beku,
bersatu dengan tanah yang kupijak. Aku terlalu lemah untuk berperang. Melihat
wajah garang mereka saja sudah membuat nyaliku ciut, apalagi ikut menggenggam
senjata!
“Seraaaaang!!!” suara mereka
menggelegar bagai petir di tengah hujan deras itu. Aku terjatuh dan menutup wajah
karena ketakutan. Senjata
milik mereka pasti akan
membuatku langsung terbunuh.
Namun, beberapa detik kemudian, aku menyadari bahwa tidak
terjadi apa-apa denganku. Satu-satunya yang berubah adalah situasinya. Pasukan
Indonesia dan para penjajah itu menghilang dari pandanganku, digantikan dengan kerumunan orang-orang yang riuh ramai. Diriku
yang semula duduk,
kemudian bangkit untuk melihat, kejadian aneh apalagi yang akan kualami
sekarang.
Aku melihat kemana pandangan orang-orang tertuju. Mereka
semua mendongak dan menunjuk
ke atas sebuah gedung. Seorang
lelaki berada di atas gedung tersebut, sedang merobek bendera di
puncak gedung. Bendera merah-putih-biru yang kemudian berubah menjadi merah-putih saja. Aku bersumpah
aku pernah mempelajari peristiwa ini di buku sekolah,
tapi, otakku hanya penuh dengan artis Korea.
Ungkapan cinta lelaki itu terhadap Indonesia tidak perlu
dipertanyakan lagi. Dia berani menentang penjajah dengan merobek
warna bendera mereka.
Mataku berair,
melihat
beberapa wanita menangis, menyuruhnya untuk segera turun dan kabur. Aku
mengerjapkan mata untuk menahan tangisku.
Pemandangan di depanku berubah lagi. Seorang pria dengan
garis wajah keras dan tegas berpidato di tengah-tengah kerumunan yang mengikutinya.
Suaranya lantang, membuat kerumunan mengalami keheningan. Semuanya larut dalam
pidatonya yang benar-benar penuh penghayatan. Aku mendekat dan ingin memusatkan perhatianku terhadap dirinya.
Penasaran, pidato apa yang ia bawakan sampai bisa membuat orang-orang
menatapnya penuh perhatian.
“ … Hai, Tentara
Inggris! Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membuat
secarik kain putih menjadi merah-putih, maka selama itu tidak akan
kita mau menyerah kepada siapa pun juga!”
Semua orang bersorak semangat sembari mengangkat tangannya
ke atas, mengerahkan semangat, mengalirkannya kepada sesama pejuang tanah air.
Aku ikut mengangkat tanganku ke udara, meskipun kakiku masih gemetaran karena
merasa ketakutan. Namun, euforia dan semangat mereka menjalar sampai ke tubuhku
yang lemah ini. Bung Tomo! Dia Bung Tomo!
“Dan untuk kita,
saudara-saudara! Lebih baik kita hancur daripada tidak merdeka! Semboyan kita
tetap, merdeka atau mati, Allahu akbar!!!”
Orang-orang langsung berlari
ke depan, berteriak kencang sambil melayangkan senjata. Tentara Inggris telah
menyerang. Aku melihat darah dimana-mana. Aku menyaksikan mereka tertancap
pedang dan tertembak peluru senapan. Aku mendapati para tentara asing begitu
mudah membunuh kita,
rakyat Indonesia. Tembakan, tusukan, sabitan terjadi di depan mataku begitu saja, tanpa bisa
kuhindari. Hujan darah mengguyur badanku. Aku tidak kuat berada di tengah
peperangan seperti ini. Mataku mengabur, dan semuanya jadi gelap.
-
Apa yang sudah kulakukan
selama ini? Aku lebih mencintai Korea daripada
Indonesia. Aku rela menabung hanya untuk membeli
tiket konser para artis Korea,
yang bahkan tidak tahu kalau aku berteriak untuk mereka. Aku seharusnya
menyanyikan Indonesia Raya dengan
bangga. Tidak perlu pakai tiket, aku hanya
perlu melaksanakan upacara
dengan khidmat. Aku harusnya mencintai Indonesia, yang sudah menjadi tanah
kelahiranku, tempatku bernaung, belajar, dan berkarya. Para pahlawan telah
berkorban untukku, agar aku tidak perlu berperang seperti mereka.
Setelah upacara selesai, aku menghampiri Nirwana dan
teman-temanku yang lain. “Nirwana, Dian, dan Azmi … maaf. Maaf karena
kecintaanku pada Korea, aku mengabaikan kalian.” Ucapku penuh penyesalan. Azmi
mengusap lembut punggung tanganku. “Minta maaflah pada Indonesia yang sudah
kamu hina tarian dan makanan lokalnya sendiri. Minta maaf pada para pahlawan yang sudah kamu kecewakan
karena tidak pernah khidmat saat upacara.”
“Benar. Jangan pernah biarkan negeri asing membuat cintamu
pada Indonesia memudar. Apalagi, merusak hubungan persahabatan kita. Ayo, damai
….” Kami semua berpelukan. Aku merasakan kehangatan yang tidak akan kudapatkan
dari para artis Korea yang selalu kupuja.
“Aku
mau menjadi bagian dari petugas upacara minggu depan. Boleh?” “Datanglah hari
jum’at nanti untuk seleksi dan latihan. Jangan kabur!”
Namun, jumat itu, tepat pada tanggal 28 September 2018,
Palu dan Donggala diguncang gempa dan tsunami hebat. Tanah bergemuruh, sama
rasanya ketika para pejuang menghentakkan kaki. Air laut menyapu semuanya.
Bangunan, manusia, harta dan benda terbawa arus tsunami.
Para
pahlawan tidak meminta kita untuk ikut mengangkat senjata. Mereka hanya butuh
kita untuk mencintai
Merah-Putih yang telah mereka perjuangkan sampai titik darah penghabisan. Sesederhana itu untuk mencintai Indonesia.