Profil OSIS SMA 4 KENDARI Masa Bakti 2021 - 2022 Get now!

[Karya Siswa] Cerpen - Cinta Setelah Hujan

Naskah ini lolos dalam Festival Literasi Sekolah 2019 bidang cipta cerpen.


Cinta Setelah Hujan
(Karya: Mufida Saediman)

Daebak!1 EXO mau konser di Indonesia!!! Aku harus pergi! Wajib! Mulai dari sekarang aku harus menabung!” tekadku dalam hati.
“Minggu depan giliran kelas kita yang jadi petugas upacara, lho.” Tukas teman sebangkuku, Nirwana. Teman-temanku yang lain ikut mendekat. “Kata Pak Jalal, kita pilih sendiri mau bertugas jadi apa. Nanti Pak Jalal yang seleksi. Aku sudah enggak sabar dari minggu lalu. Dari dulu, aku ingin jadi protokol upacara!”
“Aku mau jadi pembaca janji siswa saja, gampang! Hahaha!”

“Aku sudah pasti pengibar bendera, karena hanya aku anak Paskibra di kelas.”

Pembicaraan teman-temanku tidak menarik. Aku membuka sebuah foto di galeri ponselku. Foto salah satu anggota boyband ternama di Korea.
“Kalau kamu, Al? Mau bertugas jadi apa minggu depan?” pertanyaan Nirwana membuyarkan lamunanku. Aku terkekeh dan menggaruk kepala. “Enggak mau jadi apa-apa. Aku enggak tertarik ikut begituan.”
“Kamu lagi lihat boyband Korea, kan? Korea teruuuuus! Gara-gara mereka kamu selalu telat informasi. Kamu lebih pilih menabung untuk beli album musik daripada beli tiket pertunjukan tari Baliore tahun lalu! Padahal, aku yang tampil….”
“Kamu juga enggak ikutan Festival Palu Nomoni karena enggak mau uangmu habis untuk jajan makanan lokal! Pasti mau beli barang-barang enggak berguna lagi!”
Aku menatap mereka penuh amarah. “Buat apa juga aku nonton pertunjukan tarianmu?  Baliore?  Enggak  gaul sama sekali!  Lagian, aku beli barang-barang  yang


1 Daebak (bahasa Korea) = Hebat! Wow! Luar biasa!






berguna, kok! Buat apa juga aku jajan makanan lokal yang enggak enak!” Aku kembali menatap layar ponselku dan mengecup foto yang terpampang.
“Keluar semuanya!” Pak Jalal berteriak sambil melayangkan rotannya ke seluruh penjuru kelas. Aku sempat malu karena Pak Jalal memergoki diriku sedang mencium layar ponsel.
Dengan langkah terpaksa, aku melangkah ke lapangan upacara yang sudah ramai. Berbaris di belakang dengan asal-asalan. Aku tidak pernah sekalipun merasakan kekhidmatan dari upacara setiap hari senin. Saat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sedang dibacakan, aku hanya melamun. Lalu, saat Indonesia Raya dinyanyikan, aku sibuk mendengarkan lagu Korea. Aku bahkan tidak tahan menundukkan kepala saat hening cipta. Aku malah mendongak, mencari keberadaan guru agar bisa kabur dan bersembunyi di dalam kelas.
Demi membunuh rasa bosanku, aku pun memainkan ponsel sembari mendengar lagu-lagu Korea kesukaanku. Sesekali aku bersenandung dan menggoyangkan kaki, membayangkan diriku ikut menari bersama artis Korea pujaanku.
Tes. Tes. Tes. Tetesan hujan turun, mengagetkan diriku. Aku bersorak dalam hati. Upacara pasti bubar kalau hujannya menjadi lebih deras! Hore! Aku pun melihat ke sekeliling, mengecek apakah teman-temanku juga sama girangnya denganku. Tapi…, dimana orang-orang?!
Lapangan upacara yang sedetik lalu ramai oleh murid, kini sepi. Tidak ada upacara, guru dan teman-temanku! Kini, hanya ada lapangan luas yang sepi dan basah oleh air hujan. Tiba-tiba saja, tanah bergetar. Rasanya seperti gempa. Terdengar suara hentakkan kaki ribuan orang. Aku menyipitkan mata. Derasnya air hujan sedikit menghalangi pandanganku. Aku bisa melihat banyak orang –mungkin ratusan bahkan ribuan– sedang berlari ke arahku. Mereka semua kelihatan marah dan berteriak-teriak. Masing-masing orang memiliki senjata yang beragam. Bukan hanya senapan, mereka juga menggenggam bambu runcing dan kayu panjang.






Tak peduli basah dan lumpur, mereka melangkah maju. Aku ketakutan. Apa lagi ini!? Apa aku akan diserang? Aku segera berlari menjauh, namun sialnya, aku juga mendapati pasukan lain yang lebih banyak, lengkap dengan senapan, rompi anti peluru, tombak dan perisai pelindung. Pasukan elit yang akan melawan pasukan sederhana yang jumlahnya kalah banyak.
Merdeka! Merdeka!” teriakan pasukan sederhana semakin membara. Aku tidak tahu ini peperangan apa, tapi, aku bisa tahu bahwa pasukan sederhana di depanku ini adalah Indonesia. Sedangkan pasukan lainnya sudah pasti para penjajah.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin berlari, tapi, kakiku beku, bersatu dengan tanah yang kupijak. Aku terlalu lemah untuk berperang. Melihat wajah garang mereka saja sudah membuat nyaliku ciut, apalagi ikut menggenggam senjata!
Seraaaaang!!!” suara mereka menggelegar bagai petir di tengah hujan deras itu. Aku terjatuh dan menutup wajah karena ketakutan. Senjata milik mereka pasti akan membuatku langsung terbunuh.
Namun, beberapa detik kemudian, aku menyadari bahwa tidak terjadi apa-apa denganku. Satu-satunya yang berubah adalah situasinya. Pasukan Indonesia dan para penjajah itu menghilang dari pandanganku, digantikan dengan kerumunan orang-orang yang riuh ramai. Diriku yang semula duduk, kemudian bangkit untuk melihat, kejadian aneh apalagi yang akan kualami sekarang.
Aku melihat kemana pandangan orang-orang tertuju. Mereka semua mendongak dan menunjuk ke atas sebuah gedung. Seorang lelaki berada di atas gedung tersebut, sedang merobek bendera di puncak gedung. Bendera merah-putih-biru yang kemudian berubah menjadi merah-putih saja. Aku bersumpah aku pernah mempelajari peristiwa ini di buku sekolah, tapi, otakku hanya penuh dengan artis Korea.
Ungkapan cinta lelaki itu terhadap Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi. Dia berani menentang penjajah dengan merobek warna bendera mereka. Mataku berair,






melihat beberapa wanita menangis, menyuruhnya untuk segera turun dan kabur. Aku mengerjapkan mata untuk menahan tangisku.
Pemandangan di depanku berubah lagi. Seorang pria dengan garis wajah keras dan tegas berpidato di tengah-tengah kerumunan yang mengikutinya. Suaranya lantang, membuat kerumunan mengalami keheningan. Semuanya larut dalam pidatonya yang benar-benar penuh penghayatan. Aku mendekat dan ingin memusatkan perhatianku terhadap dirinya. Penasaran, pidato apa yang ia bawakan sampai bisa membuat orang-orang menatapnya penuh perhatian.
“ … Hai, Tentara Inggris! Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membuat secarik kain putih menjadi merah-putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapa pun juga!
Semua orang bersorak semangat sembari mengangkat tangannya ke atas, mengerahkan semangat, mengalirkannya kepada sesama pejuang tanah air. Aku ikut mengangkat tanganku ke udara, meskipun kakiku masih gemetaran karena merasa ketakutan. Namun, euforia dan semangat mereka menjalar sampai ke tubuhku yang lemah ini. Bung Tomo! Dia Bung Tomo!
Dan untuk kita, saudara-saudara! Lebih baik kita hancur daripada tidak merdeka! Semboyan kita tetap, merdeka atau mati, Allahu akbar!!!
Orang-orang langsung berlari ke depan, berteriak kencang sambil melayangkan senjata. Tentara Inggris telah menyerang. Aku melihat darah dimana-mana. Aku menyaksikan mereka tertancap pedang dan tertembak peluru senapan. Aku mendapati para tentara asing begitu mudah membunuh kita, rakyat Indonesia. Tembakan, tusukan, sabitan terjadi di depan mataku begitu saja, tanpa bisa kuhindari. Hujan darah mengguyur badanku. Aku tidak kuat berada di tengah peperangan seperti ini. Mataku mengabur, dan semuanya jadi gelap.
-






Apa yang sudah kulakukan selama ini? Aku lebih mencintai Korea daripada Indonesia. Aku rela menabung hanya untuk membeli tiket konser para artis Korea, yang bahkan tidak tahu kalau aku berteriak untuk mereka. Aku seharusnya menyanyikan Indonesia Raya dengan bangga. Tidak perlu pakai tiket, aku hanya perlu melaksanakan upacara dengan khidmat. Aku harusnya mencintai Indonesia, yang sudah menjadi tanah kelahiranku, tempatku bernaung, belajar, dan berkarya. Para pahlawan telah berkorban untukku, agar aku tidak perlu berperang seperti mereka.
Setelah upacara selesai, aku menghampiri Nirwana dan teman-temanku yang lain. “Nirwana, Dian, dan Azmi … maaf. Maaf karena kecintaanku pada Korea, aku mengabaikan kalian.” Ucapku penuh penyesalan. Azmi mengusap lembut punggung tanganku. “Minta maaflah pada Indonesia yang sudah kamu hina tarian dan makanan lokalnya sendiri. Minta maaf pada para pahlawan yang sudah kamu kecewakan karena tidak pernah khidmat saat upacara.”
“Benar. Jangan pernah biarkan negeri asing membuat cintamu pada Indonesia memudar. Apalagi, merusak hubungan persahabatan kita. Ayo, damai ….” Kami semua berpelukan. Aku merasakan kehangatan yang tidak akan kudapatkan dari para artis Korea yang selalu kupuja.
“Aku mau menjadi bagian dari petugas upacara minggu depan. Boleh?” “Datanglah hari jum’at nanti untuk seleksi dan latihan. Jangan kabur!”
Namun, jumat itu, tepat pada tanggal 28 September 2018, Palu dan Donggala diguncang gempa dan tsunami hebat. Tanah bergemuruh, sama rasanya ketika para pejuang menghentakkan kaki. Air laut menyapu semuanya. Bangunan, manusia, harta dan benda terbawa arus tsunami.
Para pahlawan tidak meminta kita untuk ikut mengangkat senjata. Mereka hanya butuh kita untuk mencintai Merah-Putih yang telah mereka perjuangkan sampai titik darah penghabisan. Sesederhana itu untuk mencintai Indonesia.

Posting Komentar